Senin, 05 April 2010

Dieng

Belum Ke Wonosobo Kalau Belum Makan Mie Ongklok


Ketika Anda berkunjung ke kota Wonosobo, Jawa Tengah, tidak perlu heran kalau kemudian ada yang berkata kepada Anda : "Belum ke Wonosobo kalau belum makan mie ongklok". Inilah tag line kebanggaan masyarakat Wonosobo ketika ada teman atau koleganya yang bertamu ke kotanya. Kebanggaan yang memang seharusnya ada dan dimiliki oleh setiap wilayah di mana pun. Intinya tentu saja berpromosi.

Andai setiap kota atau wilayah di Indonesia memiliki tag line yang semodel itu, lalu pesankan kepada warganya, termasuk yang sedang berada di perantauan untuk mengenalkan potensi daerahnya masing-masing. Maka kota itupun akan semakin dikenal dan di-penasaran-i oleh orang lain. Terutama dengan adanya sesuatu yang khas dari kota itu dan lebih terutama lagi kalau itu menyangkut makan atau pengalaman kuliner. Tak terkecuali kota Wonosobo.

Merasa tertantang dengan tag line Wonosobo dengan mie ongkloknya, Sabtu dini hari yang lalu sekitar jam 1:00 saya berangkat dari Jogja menuju Wonosobo (dasar enggak ada kerjaan....!). Waktu tidur dikorbankan demi sebuah tantangan agar dibilang sudah pernah ke Wonosobo. Perkara kemudian di sana ada peluang bisnis yang dapat dikerjakan, maka itu menjadi bagian cerita berbeda. Seingat saya sudah beberapa kali saya singgah ke kota nan cantik dan indah bak negeri di atas awan yang terletak di kaki selatan pegunungan Dieng dan berada di lereng gunung Sindoro dan Sumbing, tapi masak dibilang belum pernah ke Wonosobo.

***

Mie ongklok Wonosobo memang khas dan jenis makanan ini sudah merakyat sejak jaman dulu kala. Sepertinya tidak saya temukan di kota lain. Kalau makanan mie-miean banyak di mana-mana, tapi yang ongklok-ongklokan rupanya hanya ada di Wonosobo.

Sebenarnya tidak sulit menemukan penjual mie ongklok di Wonosobo, sama seperti mencari penjual mie atau bakmi di setiap pelosok nusantara. Namun ada beberapa lokasi penjual mie ongklok yang sudah kesohor punya nama dan banyak disebut-sebut penggemar wisata kuliner. Di antara yang sudah punya nama itu adalah mie ongklok pak Muhadi di Jl. A. Yani dan mie ongklok Longkrang di Jl. Pasukan Ronggolawe.

Mie ongklok Pak Muhadi sebenarnya lebih terkenal. Namun sejak dikelola oleh generasi penerusnya, konon kini taste-nya sudah agak berbeda dengan ketika dulu masih ditangani (benar-benar diracik dan dilayani sendiri dengan tangannya) Pak Muhadi. Cerita ini mirip-mirip bakmi Kadin Jogja yang sekarang juga dikelola oleh generasi keduanya, sehingga terasa kurang "punya taste", tak lagi se-mak nyus dulu ketika masih digemari oleh almarhum pak Harto atau kerabat Kraton Jogja.

Pilihan lalu diarahkan ke mie ongklok Longkrang yang warungnya biasanya buka menjelang sore hingga malam hari. Longkrang bukan nama orang, melainkan nama desa dimana rumah makan mie ongklok ini berada. Lokasinya mudah dicapai, tidak sampai 1 km dari alun-alun kota Wonosobo menuju ke utara arah Dieng, kemudian belok kanan. Tampilan mukanya sangat sederhana, nyaris menyerupai rumah tinggal kalau bukan karena di depannya terpasang spanduk warna kuning muda (sudah kusam maksudnya).

Tidak perlu waktu lama untuk menunggu semangkuk mie ongklok disajikan, tidak seperti kalau pesan bakmi goreng atau rebus yang harus dimasak dulu. Segumpal mie kuning ditambah irisan kol dan daun kucai mentah dimasukkan ke sebuah wadah menyerupai saringan, lalu direndam ke dalam kuah panas berkaldu ayam. Proses pematangan campuran mie dan sayuran itu dilakukan sambil di-ongklok-ongklok atau di-opyok-opyok di dalam kuah panas. Begitulah, maka disebut mie ongklok.

Setelah dirasa agak matang, lalu dituang ke dalam mangkuk dan ditambah dengan bumbu penyedap. Setelah itu disiram dengan kuah kental berwarna kecoklatan campuran adonan kanji (tepung tapioka) dan ebi (udang kering), lalu diguyur dengan sambal kacang. Terakhir ditaburi bawang goreng sebelum disajikan. Tampilan akhir sajian mie ongklok ini memang kurang menggairahkan, seonggok mie yang dilumuri kuah kental jadi terlihat nglentrek-nglentrek......, berkuah nyemek kental kecoklatan, gimana gitu....

Baiknya langsung saja diaduk agar bumbu, kuah kental dan sambal kacangnya merata di saat masih fanas (saking panasnya). Tapi sebelum itu cobalah untuk mencicipi sedikit kuah kentalnya dulu, lalu rasakan sambal kacangnya, baru kemudian diaduk. Jika suka pedas, campurkan cabe rawit yang sudah digerus dengan sendok di dalam mangkuk, begitu cara membuat sambalnya. Lalu rasakan sensasi nglentrek-nglentrek-nya dan nikmati citarasa khas kelezatan mie ongklok yang semangkuknya dihargai Rp 4.000,- ini.

Menu pendamping untuk menikmati mie ongklok adalah leko atau cireng (aci goreng) yang berupa gorengan tepung beras gurih dan enak berwarna putih. Makanan ini juga disebut geblek (huruf 'e' kedua dibaca seperti pada kata 'imlek"). Barangkali karena bentuknya menyerupaigeblek (dalam bahasa Jawa geblek berarti pemukul) kasur jaman dulu sewaktu kasur masih terbuat dari kapuk dan perlu dijemur seminggu-dua minggu sekali agar mengembang, menghalau bau apek dan mengusir tinggi (bahasa Jawa tinggi berarti kutu busuk, yang kalau di-pithes bau busuknya minta ampun....., sekarang binatang tinggi ini layak tergolong binatang langka yang tidak perlu dilindungi.....).

Selain dimakan dengan cireng atau geblek, mie ongklok perlu ditemani menu asesori tambahan yaitu sate sapi berbumbu sambal kacang dan tempe kemul (dalam bahasa Jawa kemul berarti selimut), yaitu tempe goreng yang dibungkus dengan adonan tepung. Maka ketika semangkuk mie ongklok disanding dengan cireng, tempe kemul dan sate sapi, bersiaplah untuk bingung mau dimakan apanya dulu.... "Habis semuanya terlihat enak sih......", begitu pembelaan dalam hati. Jika jalan keluarnya kemudian adalah mencampur semuanya ke dalam satu mangkuk pun bukan soal. Sebab cita rasanya tetap enak dan nyemmm.... (hanya sebaiknya Anda duduk agak menyudut agar tidak disenyumi pembeli lain....).

Menilik sajian mie ongklok plus menu pelengkap yang seakan menggunung di dalam mangkuk, maka memang cocoknya mie ini dinikmati saat sedang lapar berat. Kalau kemudian saya sukses menghabiskan dua mangkuk mie ongklok termasuk menu pelengkapnya, itu karena makan siangnya agak terlambat alias sedang lapar berat itu tadi. Dan yang penting, ada bukti lebih dari cukup bahwa saya sudah ke Wonosobo....  


Sumber:

Yusuf Iskandar

http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=13028

10 Februari 2009

Waroeng Djoglo Wonosobo

Arung Jeram Wonosobo, Makin Diminati

Objek wisata minat khusus berupa arena arung jeram belakangan ini makin banyak penggemarnya. Olahraga pembangkit adrenalin tubuh ini makin banyak bermunculan dimana-mana. Salah satunya seperti yang kini terus dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dengan memanfaatkan jeram yang ada di aliran Sungai Serayu. Arung jeram di sungai ini lambat laun makin diminati wisatawan nusantara.

Sungai Serayu terletak di Kabupaten Wonosobo - Banjarnegara, Jawa Tengah kira-kira 2,5 jam perjalanan dari Jogjakarta dengan melewati lerengGunung Sindoro-Sumbing yang menyajikan kesejukan dan panorama alam pegunungan. Sungai ini berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan sangat mudah dijangkau karena terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan kota Wonosobo dan Banjarnegara tepatnya berdekatan dengan jalan raya Tunggoro-Singomerto.

Mengenai tingkat kesulitan arung jeram di Kabupaten Wonosobo ini bervariasi, mulai dari grade dua sampai grade empat dengan jumlah arung jeram sebanyak 30 jeram. Pada grade yang lebih rendah tingkat kesulitan yang ada masih relatif mudah namun pada grade yang makin tinggi tingkat kesulitan yang harus dilalui pun semakin berat. Namun, bagi peminat arung jeram yang sudah terbiasa berarung jeram dan profesional mengendalikan perahu, makin tinggi tingkat kesulitannya justru makin mengasyikkan dan menarik

Sungai Serayu dengan panjang 25 km dapat total ditempuh selama kira-kira 4,5 - 5 jam pengarungan, tepatnya bisa dari jembatan di Desa Blimbing atau Desa Tunggoro (Kab. Wonosobo) serta Desa Prigi (Kab.Banjarnegara) ke Desa Singomerto, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Waktu tempuh ini sudah termasuk istirahat di tengah perjalanan. Arung jeram ini hanya boleh diikuti oleh wisatawan berusia antara 10-60 tahun.

Pada hari Sabtu dan Minggu, apalagi hari libur panjang, banyak rombongan wisatawan nusantara berkunjung ke objek wisata ini. Paling tidak ada delapan sampai 10 rombongan, di mana tiap rombongan beranggotakan lima hingga 12 orang. Untuk menuju ke lokasi objek wisata minat khusus arung jeram ini dengan mobil dari Kota Wonosobo dibutuhkan waktu sekitar 30-40 menit atau berjarak tempuh sepanjang 26 km.

Bagi wisatawan yang ingin berarung jeram, pengelola objek wisata ini telah menyediakan peralatan komplit dengan biaya Rp150 ribu hingga Rp200 ribu untuk wisatawan nusantara dan sekitar Rp350 ribu bagi wisatawan mancanegara. Biaya itu sudah termasuk sewa perahu karet, jaket pelampung, asuransi, jasa guide, dan konsumsi. (*/cax) 


Sumber:

http://www.kapanlagi.com/a/arung-jeram-wonosobo-makin-diminati.html

7 Oktober 2006

Agrowisata Perkebunan Tambi


Perkebunan Tambi dibangun pada tahun 1865, letaknya 16 km sebelah utara kota Wonosobo dengan ketinggian 1.350 meter di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 16 -28 ° C.

Suatu lokasi perkebunan yang terletak di lereng sebelah barat gunung Sindoro dengan keunggulan :
 »Lokasi wisata yang terkenal dengan pemandangan alam yang segar, bebas polusi sehingga cocok untuk acara berlibur di akhir pekan
 »Tambi berlokasi di lereng sebelah barat gunung Sindoro dekat dengan Dataran Tinggi Dieng yang sudah terkenal .
 »Hanya 20 menit dari kota Wonosobo dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum.
 »Perjalanan dengan pemandangan indah di jalur utama menuju Dataran Tinggi Dieng.
 »Makanan khas Wonosobo dan paket hiburan menarik dapat dipesan.
 »Obyek wisata lainnya yang terdekat dengan Agrowisata Tambi.
 »Telaga menjer, Dataran Tinggi Dieng, Bumi Perkemahan Jumprit serta wahana arung jeram di sungai Serayu.


Profil Perkebunan Tambi

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1865 Perusahaan Perkebunan Tambi adalah salah satu perusahaan milik Belanda, dengan nama bagelen Thee & Kina Maatschappij yang berada di Netherland. Di Indonesia perusahaan tersebut dikelola oleh NV John Peet yang berkantor di Jakarta.
Ketika revolusi kemerdekaan meletus, perusahaan diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan para pekerjanya diangkat menjadi Pegawai Perkebunan Negara (PPN).

Setelah Konferensi Meja Bundar pada tahun 1950 perusahaan diserahkan kembali kepada pemilik semula yaitu Bagelen Thee & Kina Maatschappij. Pada tahun 1954 perusahaan dijual kepada NV Eks PPN Sindoro Sumbing, perusahaan yang didirikan oleh Eks Pegawai Perusahaan Perkebunan Negara.

Pada Tahun 1957 NV Eks PPN Sindoro Sumbing bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Wonosobo mendirikan sebuah perusahaan baru dengan nama NV Tambi dan sekarang dengan nama PT. Perkebunan Tambi.

PT. Perkebunan Tambi sekarang dalam jangka waktu pendek sedang mengembangkan potensi keindahan dan daya tarik alam perkebunan sebagai wisata agro dengan nama Agrowisata Perkebunan Teh Tambi.


Sumber :

http://www.agris-tambi.com/index2.php?cat=agrowisata 

Kabupaten Wonosobo


Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa tengah yang sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan. Dengan luas hanya 984,68 Km2, daerah ini berpenduduk lebih dari 750 ribu jiwa. 
Dilihat dari komposisi PDRB, Kabupaten Wonosobo merupakan daerah agraris. Hampir setengah dari PDRB daerah ini disumbang oleh sektor pertanian. Sedangkan pada sektor pertanian sendiri, peran tanaman bahan makanan amat besar, yaitu lebih dari 78 persen dari keseluruhan nilai pertanian. 
Ubi kayu dan jagung merupakan tanaman bahan makanan andalan Kabupaten Wonosobo. Produksi ubi kayu dan jagung dari daerah ini berada diposisi kesepuluh dan keenam di tingkat Propinsi Jawa Tengah. Sedangkan produksi padi, meskipun tidak signifikan ditingkat propinsi, namun dibanding ubi kayu dan jagung dan tanaman bahan makanan lainnya, merupakan yang tertinggi. Kecamatan yang cocok dijadikan klaster tanaman bahan makanan adalah Selomerto, Kertek, Kepil, Kaliwiro, Leksono, dan Watumalang. 
Sayur-sayuran juga merupakan andalan Kabupaten Wonosobo, terutama kubis, kentang, dan bawang daun. Produksi kubis dan kentang daerah ini merupakan kedua terbesar di Jawa Tengah setelah Kabupaten Banjarnegara. Sedangkan produksi bawang daun merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Sementara kecamatan yang cocok untuk dijadikan klaster sayur-sayuran adalah Kecamatan Kejajar, Garung, Kertek, dan Kalikajar. 
Kabupaten Wonosobo juga merupakan daerah penghasil buah-buahan, terutama salak. Dengan Produksi sebesar 39.152 kwintal, salak merupakan andalan daerah ini dan menempati tiga besar di Jawa Tengah setelah Banjarnegara dan Magelang. Konsentrasi produksi salak terdapat di Kecamatan Leksono dengan produksi sebesar 23.597 kwintal. 
Kabupaten ini juga menghasilkan produk peternakan. Populasi ternak di daerah ini antara lain Sapi Potong 34.539 Ekor, Kerbau 3.752 ekor, Domba 132.747 ekor, Kambing 105.495 ekor, Ayam Kampung 642.965 ekor, dan Ayam Ras 150.161 ekor. 
Pada kegiatan perdagangan, terdapat beberapa komoditi yang telah berhasil menembus pasar dunia. Dari aktivitas perdagangan ini dihasilkan devisa sebesar US $ 15.301,74. Kayu olahan merupakan komoditi dengan nilai ekspor tertinggi, yaitu US $ 10.752,45. Komoditi lainnnya adalah makanan olahan dengan nilai ekspor US $ 3.519,13, teh hitam 926,18, dan Nata De Coco senilai US $ 103,98. 
Sumber:
http://www.cps-sss.org/web/home/kabupaten/kab/Kabupaten+Wonosobo
Sumber Gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wonosobo

Tsunami Industri Kecil di Wonosobo


Oleh Haryati

WONOSOBO tak hanya kaya potensi pertanian dan wisata alam. Pasalnya, beragam industri kecil bergeliat di kota pegunungan ini. Industri rumahan tersebut, paling tidak, bisa dijadikan alternatif lain di luar sektor pertanian.

Bahkan ada simbiosis mutualisme antara sektor industri dan pertanian. Sebab bahan baku usaha kecil-menengah (UKM) tersebut, tak jarang, merupakan produk hasil pertanian. Model ini saling menguntungkan antara petani dan pelaku industri.

Hasil dari kreativitas dan pemberdayaan di dunia industri ternyata juga tak kalah besar dari hasil panen pertanian. Pengembangan sektor industri ini secara tidak langsung jadi penopang ekonomi warga setempat.

UKM ini, juga mampu membuka lapangan kerja baru. Tenaga kerja yang semula mengganggur sejak menjamur industri rumah tangga di Wonosobo, jadi bekerja. Ini sekaligus sebagai upaya pengentasan pengangguran di desa.

Dalam waktu tak lama, melalui pelatihan yang diikuti, mereka pun mampu menguasai keteampilan sesuai pekerjaan yang digeluti. Secara tidak langsung kreativitas warga muncul seiring dengan ilmu yang didapat dalam pelatihan.

Semangat perajin dalam mengembangkan dunia industri, bukan tidak mungkin, membuat kota ini tidak saja populer sebagai kota agraris dan kota wisata. Kota industri pun bisa tersemat di daerah bermotto Asri (aman, sehat, rapi dan indah) ini.

Geliat industri di kota di bawah kendali Bupati Drs HA Kholiq Arif MSi dan Wakil Bupati Drs H Muntohar MM ini, pada gilirannya akan menunjung sektor ekonomi lain. Kehidupan kota dan ekonomi warga juga akan tambah bergairah.
Pusat Industri Sentra industri kecil di Wonosobo tersebar di beberapa wilayah. Sapuran, sebagai penghasil bambu dan kayu albasia, selama ini tersohor dengan kerajinan bambu, kaligrafi, anyaman mendong dan batik.

Batik gaya baru dengan motif carica dan purwaceng serta tikar anyaman mendong di kembangkan warga Talunombo. Adapun kerajinan bambu untuk aneka perobat rumah tangga dibuat perajin desa Rimpak.

Sementara itu, produk kaligrafi dari bambu dan kayu merupakan kreasi pekerja di Desa Karangsari. Boleh dibilang Sapuran tergolong ikon industri batik dan kerajinan dari bambu di Wonosobo.

Sebagai basis peternak kambing domba, Kalikajar tak kalah kreasi menciptakan industri dari bulu domba. Bulu-bulu domba jenis Tecsel tersebut dirajut dan disulap menjadi beragam kerajinan tangan berupa taplak meja, tas dan sejenisnya di Desa Klowoh.

Adapun Kertek, tak asing lagi sebagai sentra pande besi. Beragam alat-alat pertanian di produski di Desa Candimulyo. Sementara alat masak dari logam dikenteng warga desa Kalisuren. Dua desa tersebut termasuk kiblat pande besi dan logam di daerahnya.

Tak hanya itu, Kertek juga terkenal sebagai pusat industri sepatu dan sandal bandol. Berjenis sepatu, dari model vantofel hingga sepatu ket dan sepatu bola, diproduksi di Klilin Sindupaten. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan Klilin merupakan ”Cibaduyutnya” Wonosobo.

Kualitas sepatu besutan warga setempat, tidak saja diakui konsumen dari Wonosobo. Pasalnya, beberapa warga di daerah lain, tak jarang, juga memburu produk sepatu buatan perajin di Klilin. Sepatu dan sandal Klilin sudah banyak terbang ke beberapa daerah di Jawa Tengah.

Wonosobo sendiri sebagai kecamatan Kota, tersohor dengan kerajinan teralis besi dan lukis botol bekas. Produk teralis besi yang sudah malang melintang di berbagai kota ini terpusat di desa Wonobungkah. Adapun lukis botol bekas dikerjakan oleh warga Mlipak.

Kecamatan Kaliwiro, Sukoharjo, Leksono dan Selomerto sebagai kawasan agropolitan Rojonoto, kaya akan industri boga. Kaliwiro penghasil gula kelapa, Selomerto produsen dodol durian dan stick pongge, Sukoharo dan Leksono sentra dodol dan keripik salak pondoh.

Industri kuliner juga berkembang di wilayah Kejajar, kawasan lereng Gunung Dieng. Daerah ini terkenal sebagai produsen minuman carica, purwaceng dan sirup kemar (terong Belanda). Garung pupuler sebagai penghasil kerajinan bambu cendani dan sandal dari pelepah pisang.

Mojotengah sendiri selain sentra pande besi, juga banyak muncul industri konveksi dan pembuatan dompet serta tas berbahan kain. Pande besi ada di desa Krasak sedang pusat konveksi di Kongsi Bumenrejo.
Kendala Geliat industri di beberapa daerah di Wonosobo memang sulit dibendung. Semangat warga memberdayakan sektor industri ibarat gelombang ”tsunami” yang teramat dasyat.

Atas ”provokasi” keberhasilan industri kreatif di daerah lain, warga Wonosobo seakan tak mau kalah. Dalam waktu tak lama, pelbagai usaha kecil-menengah itu muncul dan berkembang di Wonosobo.

Pemerintah kabupaten (Pemkab), melihat geliat warga memberdayakan diri, tak mau tinggal diam. Dalam setiap kesempatan, di mana-mana, Bupati dan Wakil Bupati ”menginterogasi” warga untuk memakai produk ”dalam negeri” Wonosobo. PNS diminta memakai sepatu produk Klilin dan Batik Talunombo serta memajang kerajinan daerah sendiri.

Imbauan itu memang memberi angin segar. Sayang sebagian besar pelaku industri kecil di Wonosobo masih menghadapi banyak kendala. Baik menyangkut perluasan pasar, tambahan modal dan tersedianya alat yang memadahi.

Promosi melalui pemeran, bantuan alat dan permodalan dari pemkab, dinilai mereka masih terlalu kecil. Karena itu, belum bisa mendongkrak perkembangan industri secara signifikan dan meluas.

Rasanya, pemkab sudah waktunya mulai memikirkan penambahan modal baru yang lebih mencukupi bagi pelaku industri. Promosi pasar juga tidak cukup sekadar dari pameran ke pameran, tapi perlu digagas sentra lelang atau showroom bersama produk kerajinan di Wonosobo.

Dengan teroboasan itu, diharapkan perajin akan lekas maju dan produksinya bertambah karena permintaan pasar yang terus meningkat. Jika model bantuan hanya itu-itu saja, jangan harap gelombang ”tsunami” pasar industri akan melalap industri kecil di Wonosobo. (35)

—Haryati, pengurus Agupena (Asosiasi Guru Penulis Indonesia) Jawa Tengah dan Guru MAN Mendolo Wonosobo


Sumber:

http://agupenajateng.net/2009/07/14/tsunami-industri-kecil-di-wonosobo/

14 Juli 2009